Sunday, 25 November 2012

RUMAH

Pemandangan itu perlahan memudar sebelum lenyap di dalam kabut, dan kutemukan diriku di antara anak-anak sebayaku.

Entah sejak kapan aku suka main ke rumah tetangga. Aku hanya ingat, waktu kecil aku suka melamun di mulut jendela, memandang rumah-rumah tetanggaku yang asri dengan anak-anak sebayaku yang bermain di halaman.
Rumahku sangat nyaman. Sepanjang bisa mengingat, rumahku selalu terbuka, tetapi tak ada anak yang bermain di situ. Mungkin karena aku juga tak pernah bermain ke rumah mereka. Ibuku tak pernah melarang, tetapi aku enggan. Pintu tak pernah dikunci tetapi kakiku tertahan di batas pagar.
Sampai pada suatu petang sehabis hujan pertama pertengahan bulan September, tanpa sadar, mataku bertumbukan dengan bunga kacapiring yang kelopaknya bertumpuk di halaman tetangga. Putih merekah. Wanginya bersenyawa dengan bau tanah menggambarkan aroma memabukkan, yang sampai sekarang tak bisa aku menjabarkannya.
Malamnya aku bermimpi melihat seribu bidadari berjalan di atas awan, bermandi cahaya di antara kembang setaman dengan aroma menjenjam, yang tertinggal di rongga hidung ketika aku terbangun. Juga sisa alunan Gending Asmarandana....
Mimpi aneh itu tak berhenti.
Suatu hari, aku kembali bermimpi melihat diriku seusia balita, berbantal awan, di antara sosok-sosok bercahaya, yang tingginya menyentuh horizon lazuardi. Aku terpesona. Beberapa wajah itu sangat kukenali. Aku ingin berteriak memanggilnya, tetapi mulutku terkunci.
Pemandangan itu perlahan memudar sebelum lenyap di dalam kabut, dan kutemukan diriku di antara anak-anak sebayaku. Suasananya sangat nyaman, seperti pagi yang panjang. Masih terasa tetes embun, juga sisa kabut, mungkin kabut yang sama yang membawa pemandangan menakjubkan itu raib entah ke mana. Aku mengenal anak-anak itu dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sebatas bertegur sapa.
Ketika terjaga, tiba-tiba kudengar suara memanggil, ”May, May....”
Tak kutemukan dari mana suara itu datang, tetapi suara itu terus mengapung di udara, bergerak dari dalam rumah, melintasi halaman, ke luar, lalu melayang masuk ke halaman rumah tetangga. Aku yang terpesona kelembutan suara itu tak menyadari kalau kakiku sudah melangkah ke luar pagar dan memasuki halaman rumah tetangga.
Suara itu pelan-pelan raib. Aku terpaku di tempat yang asing, meski letaknya hanya selangkah dari rumahku. Dari dalam rumah aku mendengar suara yang sangat lembut, ”Masuklah...”
Dengan ragu aku melangkah. Pintu tak terkunci. Begitu masuk, aku disambut kehangatan sapa dan suasana. Penghuninya sangat ramah. Kami berbincang banyak hal dengan perasaan ringan. Inderaku mengirim gelombang pertanda penerimaan. Aku merasa betah. Lalu kuputuskan untuk tinggal.
Tapi aku ini suka sekali tidur. Di rumah aku dikenal sebagai si penidur. Ketukan atau cara terkeras apa pun yang pernah ibuku lakukan, tak membuatku terjaga. Aku malas membuka mata, atau paling-paling hanya sejenak, lalu tidur lagi. Mula-mula, istanaku adalah kamar tidurku, tapi kemudian aku bisa tidur di mana saja. Mula-mula aku tidur sore, lama-lama aku tidur kapan saja, bahkan bisa sepanjang hari.
Hobiku yang tak terpuji itu tak jauh dari cerita tentang seorang anak laki-laki yang sulit dibangunkan untuk sekolah. Ia tak mau sekolah, karena, ”Bosan. Teman-teman di sekolah suka malak. Aku mau tidur saja.”
Sang ayah menghardik, ”Tapi kau harus bangun. Ke sekolah itu tugas. Umurmu sudah lebih 40 tahun, dan kau kepala sekolahnya!”*)
Seperti itulah aku....
Bedanya, ibuku tak pernah menghardikku. Mula-mula ibu masih menegurku. Lama-lama, ia berhenti. Ia bahkan membiarkan aku tidur di mana pun dan kapan pun aku bangun. Ia masih sering menggumam, ”Bangun”, lebih seperti bicara pada diri sendiri.
Kasihan ibuku...
Tapi entah mengapa, hatiku tak tersentuh juga. Kegemaranku tidur mengalahkan cintaku pada ibuku. Ia hanya tersenyum ketika aku dengan langkah tertatih-tatih, dengan mata setengah terpejam, menyapanya di dapur sedang memasak, di taman belakang, sedang menyiram bunga, di ruang tengah sedang merajut. Di mana pun....
Di rumah tetanggaku, hal yang sama terjadi. Bedanya, aku lebih tahu diri sehingga lumayan tertib, tidur hanya di kamar tidur. Pada awalnya, ibu pemilik rumah itu membiarkan aku tidur sore dan bangun jam berapa pun. Kadang sampai siang, kadang sore. Mimpiku macam-macam, kadang mimpi itu melompat jadi kenyataan. Kadang kenyataan melompat jadi mimpi. Keduanya sering bertukar tempat, sampai aku tak bisa membedakannya.
Makin lama aku makin malas bangun. Aku bahkan lupa makan dan minum, seakan-akan seluruh kebutuhan hidup terpenuhi dari tidurku.
Sejak hari pertama sebenarnya aku sudah mendengar ketukan halus di tengah malam, diikuti suara lembut, ”Bangun!”
Dengan malas kujawab, ”Terima kasih”, tetapi lalu tidur lagi. Begitu seterusnya. Pada hari kesembilan, ketukan itu tak berhenti di depan pintu, tetapi memasuki ruang tidurku, diikuti suara lembut, tetapi terdengar seperti perintah.
”Bangun!”
Suara itu terus bergema di ruangan, sampai mataku tak bisa lagi terpicing dan aku betul-betul terjaga. Kubuka pintu. Tak kutemukan siapa pun, tetapi kubaui aroma kembang yang kutemui dalam mimpi masa kecilku. Aku bergidik, dan ingin lari ke dalam kamar, menutup mukaku dengan bantal. Tapi kakiku seperti dipaku di tanah. Kurasakan dingin yang menusuk, mengantar suasana entah....
Sejak kejadian aneh itu malam itu, aku tak perlu lagi dibangunkan. Aku mudah sekali terjaga, bahkan ketika mataku terpejam.
Setelah itu banyak hal aneh yang kulihat. Kadang kulihat ular yang bergerak cepat menuju lubang gelap. Matanya, meski tak bisa melihat dengan baik, tahu di mana letak lubang itu. Kali lain kulihat burung yang tak jenak diam, mau segera terbang. Kali lain lagi aku melihat anjing yang buru-buru masuk dapur. Kelaparan dia. Tak lama kemudian, kulihat anjing hutan, kulitnya hitam pekat, matanya terang menyala, moncongnya terus terbuka, mau makan apa saja, sekali pun bangkai tikus yang sudah keluar belatungnya.
Entah dari mana asalnya, suatu malam aku melihat buaya yang bergerak-gerak menuju rawa di belakang rumah. Mataku tak bisa lagi menangkapnya, karena ia segera menenggelamkan tubuhnya. Kepanasan rupanya. Tapi yang paling sering datang adalah monyet yang berlompatan ke sana kemari. Liar sekali. **)
Suatu hari, entah kenapa, aku kangen pulang. Aku berpamitan. Ibu pemilik rumah memelukku. Dengan lembut ia berpesan, ”Kau boleh kembali kapan saja. Ini rumahmu juga. Ibu mencintaimu...”
Mataku berkaca-kaca.
Ibuku di rumah menyambutku dengan senyum yang teduh. Mataku menyapu seluruh rumah. Tak ada yang berubah, tapi aku merasakan semua berubah. Tak ada barang baru, tetapi aku melihat barang-barang lama itu berkilauan. Tanaman pohon dan perdu juga tak berubah, tetapi halaman rumahku terasa sangat asri.
”Kenapa kau Nak?” tanya ibuku.
Ah, rupanya ia mengamatiku.
”Kau seperti tak pernah melihat rumahmu...”
Ketika kutanya padanya apa yang ia lakukan selama aku pergi, ibu menggelengkan kepala. Ketika kutanya lagi apakah ibu meminta orang membersihkan rumah untuk menyambutku pulang, ia kembali menggeleng.
”Rumah ini tak pernah berubah May. Dari dulu seperti ini. Kau kebanyakan tidur, jadi tak melihat apa-apa.”
Mungkin ibuku heran karena sekarang aku tak lagi penidur. Tapi ia tak pernah bertanya. Ia hanya tersenyum....
Suatu siang, kudengar ketukan di pintu. Di luar kulihat seraut wajah yang sangat kukenal, tetapi tak bisa kuingat kapan kita pernah berjumpa. Ia tersenyum hangat, dan tanpa kata-kata menggamitku ke luar. Ia mengajakku ke satu rumah, tak jauh dari rumahku. Aku sering melewatinya, tetapi tak pernah singgah.
Ia mengajakku masuk, dan mempersilakanku duduk. Dengan segera aku menyukai tata letak rumah ini. Rumah itu terang, pintu dan jendelanya besar-besar dan terbuka lebar. Plafonnya tinggi. Kudengar sayup-sayup alunan Gending Asmarandana seperti dalam mimpi masa kecilku. Aku segera menyukai suasana ini. Temanku tak perlu dua kali menawariku untuk mempersilakan aku tinggal.
Suatu sore saat minum teh bersamanya, kukatakan, ”Semua orang di sini sangat baik padaku. Terima kasih sudah mengizinkan aku tinggal.”
Jawabnya tak terduga, ”Kau sedang menemui bagian terbaik dirimu.”
Aku tersentak. Perlahan mulai kulihat gambar bergerak dari banyak peristiwa yang telah lewat....
Sejak itu, rumahku tak lagi sepi. Teman-teman datang dan pergi, menginap lama, atau sekadar berkunjung.
Begitu pun aku.
Setelah itu aku terbiasa pergi-pulang, dan memasuki rumah-rumah yang dibuka untuk kukunjungi atau menginap. Begitu seringnya, sampai aku tak bisa lagi membedakan rumahku dan yang lain. Hanya model rumah yang berbeda. Itu saja.
Tapi jalanan pergi dan pulang tak selalu mulus. Beberapa kali kakiku terantuk batu dan berdarah. Pernah sekali tubuhku dibanting angin yang tiba-tiba menerjang dari depan. Tak jarang aku terkilir oleh sebab tak jelas. Padahal kupikir aku cukup hati-hati.
Suatu hari, ibu sepuh penghuni rumah yang jauh di ujung, bilang, jalanan akan selalu demikian. Itu sebabnya, jarang orang lalu lalang. Tapi ia mengingatkan, ”Kau punya dua saudara sejiwa yang jarang kausapa, empat penjaga satu sukma-jiwa yang tak pernah kau ajak jalan bersama, dan Mahkota Cahaya yang masih kau biarkan terbenam di dalam kotoran yang menumpuk dari enam binatang yang kau lihat pada suatu malam.”
Aku tersentak.
Kuceritakan pengalaman itu pada ibuku di rumah. Dia lalu membuatkan bubur merah dan bubur putih. Keduanya ditaruh berdampingan pada satu takir ***) yang diletakkan di atas nampan bersama gelas berisi air dengan kembang mawar merah-putih dan sekuncup kantil. Sejak kecil aku selalu melihat ibuku membuat sesaji seperti itu pada hari-hari tertentu, seperti hari wetonku.
Kata ibuku, ”Tubuh yang terlihat memang satu, tetapi sebenarnya ada dua. Dua dalam satu, satu dalam dua. Tidak satu. Tidak dua. Seperti laut dengan gelombangnya.”
Ah ibuku selalu membuatku bingung. Tetapi sejak itu, hari-hariku menjadi sangat berwarna. Aku seperti anak kecil yang mendapatkan mainannya kembali. Aku asyik membongkar, menyusun, membingkai, bermain bentuk, warna, angka, dan meniupkan rasa.
Permainan itu membuatku membaca daun yang luruh menyentuhku, kupu-kupu yang hinggap di kelambu, bulu-bulu halus yang jatuh di waktu-waktu antara, bau dan aroma yang berkelebat, jaring laba-laba yang liat, sarang lebah di sudut kusen rumah, kicau dan lengking burung, derit serangga, kokok ayam pada waktu yang tak biasa, lolong anjing dan raung kucing, dan banyak lagi, dan banyak lagi.
Lalu, aku mulai bisa melihat jejak angin, hujan, awan, tanah, udara, api, kayu dan manusia lain dalam sekepal nasi dan seteguk air. Aku belajar melihat yang penuh dalam gelas yang kosong, yang kosong di dalam gelas yang penuh.
Di ruang yang paling lapang di dalam rumahku, aku merasakan semua di dalam semua.

*) Dari ilustrasi Anthony de Mello dalam Awareness
**) Diinspirasi kisah Dhamma
***) Wadah segi empat terbuat dari daun pisang

YANG MENUNGGU SENJA

 Lelaki gila itu berdiri dan merentangkan tangannya ke samping. Aku melihat bias tubuhnya, senja yang menguning, yuyu yang merambat ke kakiku. Aku diam!
Aku seperti mendengar bunyi kepak sayap camar dari ujung dermaga. Mungkin hanya perasaanku saja, entah, aku mendengar kepak sayapnya pelan-pelan hilang dari pendengaranku. Aku duduk di dipan beratap rumbia, ada kue cokelat yang sedari tadi kugenggam erat.
Lalu aku menaruh kue cokelat itu di samping tempatku duduk. Aku merapikan selendang yang teraduk angin, aku mendengar bunyi debur yang bersahutan. Indah sekali bunyi buih yang saling berbenturan.  Pantai senja ini seperti biasa, ada beberapa pasang sejoli yang bergandeng tangan. Melintasi keindahan kasih lewat temaram senja menuju malam.
Aku tersenyum sendiri, cinta adalah maha daya. Segala yang kau punya bisa menjadi hilang hanya karena cinta, sebaliknya, segala yang hilang bisa kau miliki hanya dalam hitungan menit. Begitulah kekuatan dan kekayaan cinta. Apa semua orang di sini saling mencinta satu sama lain?
Apa bentuk cinta? Aku mengira sendiri bentuknya semacam apa, apakah kotak? Bulat? Atau cair? Apa materi padatnya? Bentuk riilnya? Atau memang bentuknya hanya serupa jantung yang merah; berdetak.
Aku diam sembari mengira apa itu cinta.
Tiba-tiba seorang lelaki berkaos putih duduk di sampingku. Rambutnya gimbal, wajahnya kusam, matanya merah berair. Jika kukira, usianya hanya berselisih dua tahun dari usiaku, sekitar 28 tahun usianya.
“Kau tau di mana cinta?” Tanya lelaki itu sembari tersenyum meledek.
Aku diam dan bergidik takut. Aku mengira, siapakah orang ini? Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu. Entahlah, aku mulai merasa tidak nyaman lagi duduk di tempat ini. Tapi, tunggu dulu, aku harus menjumpai lelakiku. Lelaki tinggi berparas rupawan, lelaki yang datang ketika senja merasuk pada gulita malam.
Lelakiku; Biyan, dia berjanji datang setiap senja. Biyan janji menjengukku setiap senja. Kami bersepakat memilih senja, karena terang siang malah menyudutkan kami pada sisi pojok. Kami adalah dua orang terasing yang memilih untuk mencintai, sekali pun semesta tidak mengizinkan untuk itu.
Lelaki yang duduk di sampingku menatap ke bola mataku, tepat ke bola mataku, aku kaku diam.
“Puan, tidakkah kau sadar?” Tanya lelaki itu.
Aku menatapnya heran. Lelaki ini gila kupikir, bajunya saja tidak betul, kotor dan bau. Pasti dia patah hati dan jadi gila. Dari garis wajahnya, dia lelaki tampan dulunya. Mata lelaki ini tajam, seperti siap merobek hati puannya. Bibirnya merah, tidak seperti kebanyakan lelaki yang perokok; berbibir cokelat atau hitam.
Aku diam kaku sedari tadi. Aku tidak boleh menanggapi orang gila ini, aku menunggu Biyan. Dia berjanji datang, lelaki yang kuselami jiwanya lebih dari dua tahun, lelaki yang selalu membuatku rebah ribuan kali tanpa perlawanan. Lelaki yang sebenarnya tidak boleh kucintai begini rupa, lelaki yang sudah punya garis takdir dengan puan lain.
Tidak, jangan kira aku duri dalam hidup puan lain; istri Biyan. Hubungan mereka bermasalah jauh sebelum aku datang, jadi janganlah orang kira aku hantu dalam rumah yang mereka huni.
Aku menatap laut yang terkena cahaya kuning senja, betapa aku menyukai senja ini. Lelaki gila di sampingku membuka bungkusanku yang berisi kue cokelat untuk Biyan. Aku menarik bungkusanku paksa, aku marah dan mataku melotot ke wajah lelaki itu.
Lelaki itu malah terkekeh pelan.
“Sini kumakan kue itu, dia tidak akan datang! Puan puan, itu laut sudah penuh dengan air matamu” ujar lelaki itu sembari terus terkekeh mengejek.
Wajahku merah padam, ingin rasanya aku menampar pipinya. Dia telah lancang mengambil apa yang bukan miliknya, dan itu perbuatan yang tidak sopan. Aku terdiam, lalu bagaimana dengan aku? Bukankah aku pun lancang mengambil apa yang bukan untukku. Tapi siapa bilang dia bukan milikku, Biyan milikku.
Lelaki gila itu berdiri dan merentangkan tangannya ke samping. Aku melihat bias tubuhnya, senja yang menguning, yuyu yang merambat ke kakiku. Aku diam.
“Puan, jangan lagi kau tunggui dia” ujar lelaki gila itu. Dia menatapku sebentar, matanya yang tajam berubah menjadi teduh. Aku menatapnya dalam, ini lelaki yang pernah kukenal. Entah kapan. Aku menghitung waktu, kapan? Sejak kapan tatapan itu kuingat.
Kepalaku memberat, otot-ototku melemah dan jantungku seperti tidak berdetak. Aku mulai ragu, apa lelaki ini gila? Hatiku seperti menjerit nama Biyan, di mana dia? Lelaki yang setahun lalu berjanji menikahiku setelah urusannya selesai, dia pun berjanji suatu senja akan datang dan membawa bulan untukku.
Lelaki gila itu menatapku dalam, ada bulir air mata menetes dari pelupuknya. Puluhan, ratusan, ribuan, hingga akhirnya aku tidak tau bagaimana derasnya air mata itu. Aku menatapnya heran, kenapa dia menangis? Kenapa?
“Biyan tidak akan pernah datang” bisik lelaki itu pelan di tengah isaknya.
Aku diam menatapnya. Biyan berjanji datang suatu senja, agar dapat membawaku melihat terang keesokan harinya. Biyan mau hidup kami tidak lagi diselimuti ketakutan akan terang, Biyan ingin suatu pagi, bukan lagi redup senja dan kelam malam.
Aku menatap mata lelaki yang kupikir gila itu. Dia menatapku dalam, senja sudah mulai meredup dan bulan mulai muncul benderang.
“Mari kita pulang puan, besok, jika kau mau ke sini lagi aku antar” ujar lelaki gila itu.
Aku diam dan menurut. Kubiarkan kue cokelat teronggok tanpa tuan di dipan beratap rumbia. Entah ribuan senja sudah kulewati, di ruang mana aku bertanya cinta itu bentuknya apa. Hingga aku seperti tidak lagi sadar diriku sendiri, menanti orang yang tidak lagi mungkin kembali.
Biyan, Biyan, kupanggil lirih-lirih namanya. Aku dan lelaki gila itu berdiri, pelan kami menyusuri pantai. Butir pasir menyentuh kaki, aku menatap lelaki gila itu. Dia tersenyum manis sekali dan ribuan lebah seperti terbang melalui kupingku.
“Puan, mari pulang, minum obatmu dengan benar. Jangan lagi berlari seperti ini sendiri. Kau bisa mati seperti Biyan kalau seperti ini terus dan aku tidak mau itu terjadi. Ingat puan, kau harus hidup  dengan sisa kesadaran yang kau punya dan cinta yang kumiliki akan terus menghidupi jiwa kita. Kau tidak gila puan, hanya kau sedang patah hati. Mari kuantar kau pulang” ujar lelaki di sampingku.
Aku menatapnya. Dan senja pun luruh, malam menjuntai sempurna. Bayang perahu nelayan di kejauhan dan lampunya bergoyang mengikuti debur. Senja kali ini sama seperti senja yang kemarin. Sama saja.

Thursday, 22 November 2012

AKU

Akulah ketika kau mencinta. Akulah ketika kau mengasihi. Aku bercahaya ketika itu, sehingga hari-harimu menjadi terang. 
Lalu batangku menjadi kokoh seiring akarnya yang semakin nancap dalam hatimu. Lalu bertunaslah reranting, dan menjadi hijau, menjadi besar, menjadi kokoh, lalu berbuahlah pohonku di dalammu itu. Buah itu aku. Akulah buah. Cinta dan kasih adalah rasanya. Aku berjatuhan saat telah masak.
Seperti keputusan yang akhirnya terjadi setelah lama menggantung dalam pertimbanganmu. Sebagian dariku kau makan—menjadi perbuatan, sebagiannya lagi membusuk kembali ke kekosongan, kembali ke masa ketika pikiran-pikiran itu mengambang di depan mulut-mulut sarafmu. Sebagian dariku yang beruntung lalu bersemayam dalam tubuhmu. Mula-mula melalui mulut, lalu turun ke kerongkongan, lalu lambung, lalu darah, lalu aku menyebar ke tubuhmu. Ada juga yang melalui telinga dan mata, lalu ke saraf penglihatan dan pendengaranmu, berakhir di otak.
Aku menggerakkanmu. Meski selalu kau abaikan. Seperti udara yang kau hirup. Akulah udara. Aku ada tapi sering tak kau anggap ada. Aku sering bisa dirasa dengan kelembutan karena kelembutan itu sendiri adalah aku. Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu karena aku ada dalam tiap sel. Aku menyertai tiap denyut karena denyut itu sendiri adalah aku. Aku merasakanmu tapi kau belum tentu merasakanku. Ada yang menganggap aku ini hanya sebilah perasaan, tapi aku bukanlah itu.
Aku melihatmu tapi kamu belum tentu melihatku. Sebenarnya aku tidak tertutup oleh sesuatu. Aku begitu nyata di depan mata. Kamu yang tidak memercayai keberadaanku lantas bilang bahwa aku hanyalah khayalan, bayangan, atau semacam ilusi. Itu karena kamu menutupi indramu sendiri sehingga semuanya pun jadi tertutup. Padahal aku ada pada setiap sudut, setiap ruang, setiap cahaya, setiap kegelapan, setiap gerak, setiap diam, setiap pandangan mata, setiap tarikan nafas, setiap desau suara, setiap kecapan rasa.
Keberadaanku sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan karena banyak yang kemudian tertipu oleh penjelasan itu sendiri. Kata-kata dan bahasa sering kali menimbulkan salah tafsir. Aku adalah aku meski kau menganggapku ada atau tidak. Aku tak butuh saksi atas keberadaanku karena aku sendiri adalah saksi atas segala keberadaan. Apakah aku adalah yang suka menyembunyikan diri sendiri? Tidak, mereka yang tidak percaya keberadaankulah yang sebenarnya menyembunyikanku. Apakah keberadaanku membutuhkan tempat? Sebenarnya tidak bisa dibilang begitu karena tempat itu sendiri adalah bagian kecil dariku. Lantas bagaimana caranya menemuiku, bercakap-cakap denganku, mengeluh, bercengkerama, atau bahkan bersahabat denganku?
Sudah kubilang, aku adalah ketika kau mencinta, ketika kau mengasihi. Maka cintalah terhadap sesama, kasihlah terhadap semua. Tak usah memikirkan bagaimana kejadiannya, kau pasti akan bertemu denganku. Akulah udara. Meski kau tak bisa melihatku tapi kau bisa menghirupku. Rasakan saja itu. Nikmati dan hayati pelan-pelan. Dan jangan terpaku dengan satu indra karena setiap indramu memiliki pengertian yang berbeda-beda tentangku. Apakah aku ini sulit? Aku rasa tidak. Aku bahkan sering memperlihatkan diri dalam sesuatu yang sederhana. Saking sederhananya hingga kau kadang tak menyadari bahwa itu aku. Lihatlah kuku dan rambutmu yang terus bertumbuh itu. Setiap minggu kau harus memendekkannya. Itu adalah aku.
Aku adalah tumbuh. Juga tunas-tunas pepohonan itu. Meski beberapa kali kau memotong atau menebangnya, aku akan terus tumbuh. Apakah aku terpengaruh kematian? Ah, itu pertanyaan yang kurang tepat. Kematian dan kehidupan adalah kedua tanganku. Tangan kananku menghijaukan, tangan kiriku menguningkan. Tangan kananku menyirami, tangan kiriku mengeringkan. Tangan kananku menumbuhkan, tangan kiriku memupuskan. Jangan bilang bahwa tangan kanan dan tangan kiriku saling bertentangan. Justru keduanya saling melengkapi. Bayangkanlah jika semua terus tumbuh, terus hidup, dan beranak-pinak. Tidakkah kalian berpikir bahwa dunia ini akan cepat meledak kelebihan penumpang? Kedua tanganku itu justru saling menjaga keseimbangan masing-masing. Keduanya bekerja beriringan. Jika salah satunya berhenti, maka terjadilah kekacauan. Lantas bagaimana caranya bercakap-cakap denganku?
Aku sebenarnya tak membutuhkan kata-kata untuk bilang sesuatu kepadamu. Kata-kata hanyalah alat buatanmu sendiri yang masih punya banyak kekurangan. Kata-kata terlalu terbatas untuk alat berkomunikasi denganku, karena bisa saja langsung kuhunjamkan jawabanku ke dalam dada atau kepalamu. Maka bertanyalah apa saja kepadaku. Aku mahatahu. Pengetahuan adalah aku. Akan kujelaskan jawabannya sebaik-baiknya kepadamu. Soal bagaimana caraku menjawab, entah seketika itu juga, besok, lusa, atau kapan-kapan, kau pasti akan tahu. Aku selalu menjawab setiap pertanyaan, meski hanya berbisik saat mengucapkannya, atau bahkan baru terlintas dalam hatimu. Telingaku persis berada di depan mulut dan hatimu. Jadi, apa pun uneg-unegmu tentang sesuatu, aku bisa tahu. Misalnya kau bertanya tentang sebuah penyakit, kau bingung dengan penyakit itu; apa penyebabnya, bagaimana cara menyembuhkannya? Mungkin kau tak langsung menemukan jawabannya seketika itu juga. Mungkin kau baru akan tahu bertahun-tahun setelahnya, setelah seorang peneliti mengamati dan menyelidikinya dengan begitu cermat. Ketika akhirnya peneliti itu tahu bahwa karakteristik penyakit itu begini, begini, begini, bahwa penyakit itu akan muncul jika kau begitu, begitu, begitu, bahwa penyakit itu akan sembuh jika begini, begitu, begini, maka apa yang diterangkan oleh si peneliti itu tadi sebenarnya adalah jawabanku yang berhasil ia bahasakan untukmu.
Kadang memang butuh proses untuk memahamiku. Tapi jika kau benar ingin tahu apa jawaban atas pertanyaanmu, sebenarnya bukan hal sulit. Di antaramu ada yang menganggap bahwa aku ini acuh dan tak peduli atas segala pertanyaan yang kau desiskan. Mungkin kau hanya kurang melihat, kurang mendengar, atau kurang merasa. Padahal jika kau mau bersungguh-sungguh, semua pasti akan sampai pada jawabannya karena segala jawaban sebenarnya sudah tersedia sejak lahir pertanyaan. Jawaban-jawabanku selalu memancar tanpa henti. Aku memang selalu begitu dan akan terus begitu. Aku tak ingin berbuat setengah-setengah, karena hal itu bukanlah sifatku.
Aku adalah ketuntasan. Aku adalah keutuhan. Aku adalah kebermanfaatan. Semua yang ada dalam genggamanku, utuh dan bermanfaat. Kalau ada yang terlihat cacat dan tak bermanfaat, itu hanya karena kau belum tahu saja. Maka ketika itu sejatinya kau belum mengetahui aku. Aku seperti matahari. Tak pernah padam dalam memberikan pengertian. Aku inti cahaya. Terang benderang jika kau telah sampai pada pengertianmu. Meskipun kau memadamkan semua lampu. Bahkan jika kau menutup mata sekalipun. Cahaya pengertianku tak terhalang materi. Cahaya pengertianku mampu menembus tembok bahkan yang kerapatannya besi. Maka tidak ada yang bisa menghalangi jika aku sudah berkehendak hinggap di kepala atau dada siapa pun. Meskipun dia ingkar atas keberadaanku sekalipun, aku tetap bisa singgah dalam rumahnya dan lalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu.
Aku tak membeda-bedakan siapa pun, baik antara yang mengakui keberadaanku maupun yang tidak mengakui keberadaanku karena keharusanku hanyalah tinggal dan lalu memberikan pengertian tentang apa yang dipertanyakan. Aku akan terus berbicara tentang segala tanpa diminta. Aku bukan suara tapi aku ada dalam suara. Aku bukan bunyi tapi aku ada dalam bunyi. Aku tak punya bentuk karena aku bukan benda. Aku tak butuh makan dan minum. Apakah matahari butuh makan dan minum? Tapi aku bukan matahari, meskipun cahayaku lebih benderang dari matahari yang paling pijar. Aku hanya memberi dan tak butuh diberi. Aku ada di mana-mana, tapi hakikatku tetaplah satu. Meski kau menyebutku dengan berbagai nama, aku tetaplah satu aku. Aku sumber dari segala sumber; pikiranmu, kreasimu, nafasmu, denyut jantungmu.
Aku ada di dalam aku juga ada di luar. Aku membuka segala yang tertutup, aku juga menutup segala yang terbuka. Aku tak terpengaruh siang dan malam; seperti kau yang tertidur di malam hari lantas terbangun setelah semua berubah benderang. Aku sangat lembut dan bisa menyusup dalam setiap selmu tapi aku juga sangat besar karena bisa menggenggam dunia. Aku mencatat tiap kelahiran, aku juga mencatat tiap kematian. Aku hidup dalam setiap kehidupan, aku juga mati dalam setiap kematian. Aku hidup saat kau hidup. Aku mati saat kau mati. Tapi aku akan selalu ada karena aku adalah aku.
Seorang anak kecil bertanya kepada ayah ibunya tentang siapa aku, kutuntun ayah ibunya untuk menunjuk dadanya; aku selalu ada di situ. Jika ingin melihat dan bercakap-cakap denganku, tempat terdekat adalah dadamu—meski keberadaanku tak mutlak butuh tempat. Jika kau ingin leluasa mendengarkan suaraku, maka luaskanlah dadamu. Suaraku akan sulit didengar jika kau menyempitkan atau bahkan menutup pintu-pintu dan jendela dadamu. Dada adalah telingamu juga. Dada juga adalah mata karena bisa kau pergunakan untuk melihat segala kebenaranku.
Sungguh sangat mudah untuk kita saling bertemu, saling melihat, dan saling memahami. Meskipun aku begitu besar dan tak terjabarkan, meskipun aku begitu lembut sampai kadang tak terindra, tapi sesungguhnya aku begitu dekat denganmu. Sungguh. Sampai-sampai kadang tumbuh pemikiran; aku adalah kau, kau adalah aku. 

Template by:

Free Blog Templates