Pemandangan itu perlahan memudar sebelum lenyap di dalam kabut, dan kutemukan diriku di antara anak-anak sebayaku.
Entah sejak kapan aku suka main ke rumah tetangga. Aku hanya ingat,
waktu kecil aku suka melamun di mulut jendela, memandang rumah-rumah
tetanggaku yang asri dengan anak-anak sebayaku yang bermain di halaman.
Rumahku
sangat nyaman. Sepanjang bisa mengingat, rumahku selalu terbuka, tetapi
tak ada anak yang bermain di situ. Mungkin karena aku juga tak pernah
bermain ke rumah mereka. Ibuku tak pernah melarang, tetapi aku enggan.
Pintu tak pernah dikunci tetapi kakiku tertahan di batas pagar.
Sampai
pada suatu petang sehabis hujan pertama pertengahan bulan September,
tanpa sadar, mataku bertumbukan dengan bunga kacapiring yang kelopaknya
bertumpuk di halaman tetangga. Putih merekah. Wanginya bersenyawa dengan
bau tanah menggambarkan aroma memabukkan, yang sampai sekarang tak bisa
aku menjabarkannya.
Malamnya aku bermimpi melihat seribu bidadari
berjalan di atas awan, bermandi cahaya di antara kembang setaman dengan
aroma menjenjam, yang tertinggal di rongga hidung ketika aku terbangun.
Juga sisa alunan Gending Asmarandana....
Mimpi aneh itu tak berhenti.
Suatu
hari, aku kembali bermimpi melihat diriku seusia balita, berbantal
awan, di antara sosok-sosok bercahaya, yang tingginya menyentuh horizon
lazuardi. Aku terpesona. Beberapa wajah itu sangat kukenali. Aku ingin
berteriak memanggilnya, tetapi mulutku terkunci.
Pemandangan itu
perlahan memudar sebelum lenyap di dalam kabut, dan kutemukan diriku di
antara anak-anak sebayaku. Suasananya sangat nyaman, seperti pagi yang
panjang. Masih terasa tetes embun, juga sisa kabut, mungkin kabut yang
sama yang membawa pemandangan menakjubkan itu raib entah ke mana. Aku
mengenal anak-anak itu dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sebatas
bertegur sapa.
Ketika terjaga, tiba-tiba kudengar suara memanggil, ”May, May....”
Tak
kutemukan dari mana suara itu datang, tetapi suara itu terus mengapung
di udara, bergerak dari dalam rumah, melintasi halaman, ke luar, lalu
melayang masuk ke halaman rumah tetangga. Aku yang terpesona kelembutan
suara itu tak menyadari kalau kakiku sudah melangkah ke luar pagar dan
memasuki halaman rumah tetangga.
Suara itu pelan-pelan raib. Aku
terpaku di tempat yang asing, meski letaknya hanya selangkah dari
rumahku. Dari dalam rumah aku mendengar suara yang sangat lembut,
”Masuklah...”
Dengan ragu aku melangkah. Pintu tak terkunci.
Begitu masuk, aku disambut kehangatan sapa dan suasana. Penghuninya
sangat ramah. Kami berbincang banyak hal dengan perasaan ringan.
Inderaku mengirim gelombang pertanda penerimaan. Aku merasa betah. Lalu
kuputuskan untuk tinggal.
Tapi aku ini suka sekali tidur. Di rumah
aku dikenal sebagai si penidur. Ketukan atau cara terkeras apa pun yang
pernah ibuku lakukan, tak membuatku terjaga. Aku malas membuka mata,
atau paling-paling hanya sejenak, lalu tidur lagi. Mula-mula, istanaku
adalah kamar tidurku, tapi kemudian aku bisa tidur di mana saja.
Mula-mula aku tidur sore, lama-lama aku tidur kapan saja, bahkan bisa
sepanjang hari.
Hobiku yang tak terpuji itu tak jauh dari cerita
tentang seorang anak laki-laki yang sulit dibangunkan untuk sekolah. Ia
tak mau sekolah, karena, ”Bosan. Teman-teman di sekolah suka malak. Aku
mau tidur saja.”
Sang ayah menghardik, ”Tapi kau harus bangun. Ke sekolah itu tugas. Umurmu sudah lebih 40 tahun, dan kau kepala sekolahnya!”*)
Seperti itulah aku....
Bedanya,
ibuku tak pernah menghardikku. Mula-mula ibu masih menegurku.
Lama-lama, ia berhenti. Ia bahkan membiarkan aku tidur di mana pun dan
kapan pun aku bangun. Ia masih sering menggumam, ”Bangun”, lebih seperti
bicara pada diri sendiri.
Kasihan ibuku...
Tapi entah
mengapa, hatiku tak tersentuh juga. Kegemaranku tidur mengalahkan
cintaku pada ibuku. Ia hanya tersenyum ketika aku dengan langkah
tertatih-tatih, dengan mata setengah terpejam, menyapanya di dapur
sedang memasak, di taman belakang, sedang menyiram bunga, di ruang
tengah sedang merajut. Di mana pun....
Di rumah tetanggaku, hal
yang sama terjadi. Bedanya, aku lebih tahu diri sehingga lumayan tertib,
tidur hanya di kamar tidur. Pada awalnya, ibu pemilik rumah itu
membiarkan aku tidur sore dan bangun jam berapa pun. Kadang sampai
siang, kadang sore. Mimpiku macam-macam, kadang mimpi itu melompat jadi
kenyataan. Kadang kenyataan melompat jadi mimpi. Keduanya sering
bertukar tempat, sampai aku tak bisa membedakannya.
Makin lama aku makin malas bangun. Aku bahkan lupa makan dan minum, seakan-akan seluruh kebutuhan hidup terpenuhi dari tidurku.
Sejak hari pertama sebenarnya aku sudah mendengar ketukan halus di tengah malam, diikuti suara lembut, ”Bangun!”
Dengan
malas kujawab, ”Terima kasih”, tetapi lalu tidur lagi. Begitu
seterusnya. Pada hari kesembilan, ketukan itu tak berhenti di depan
pintu, tetapi memasuki ruang tidurku, diikuti suara lembut, tetapi
terdengar seperti perintah.
”Bangun!”
Suara itu terus
bergema di ruangan, sampai mataku tak bisa lagi terpicing dan aku
betul-betul terjaga. Kubuka pintu. Tak kutemukan siapa pun, tetapi
kubaui aroma kembang yang kutemui dalam mimpi masa kecilku. Aku
bergidik, dan ingin lari ke dalam kamar, menutup mukaku dengan bantal.
Tapi kakiku seperti dipaku di tanah. Kurasakan dingin yang menusuk,
mengantar suasana entah....
Sejak kejadian aneh itu malam itu, aku tak perlu lagi dibangunkan. Aku mudah sekali terjaga, bahkan ketika mataku terpejam.
Setelah
itu banyak hal aneh yang kulihat. Kadang kulihat ular yang bergerak
cepat menuju lubang gelap. Matanya, meski tak bisa melihat dengan baik,
tahu di mana letak lubang itu. Kali lain kulihat burung yang tak jenak
diam, mau segera terbang. Kali lain lagi aku melihat anjing yang
buru-buru masuk dapur. Kelaparan dia. Tak lama kemudian, kulihat anjing
hutan, kulitnya hitam pekat, matanya terang menyala, moncongnya terus
terbuka, mau makan apa saja, sekali pun bangkai tikus yang sudah keluar
belatungnya.
Entah dari mana asalnya, suatu malam aku melihat
buaya yang bergerak-gerak menuju rawa di belakang rumah. Mataku tak bisa
lagi menangkapnya, karena ia segera menenggelamkan tubuhnya. Kepanasan
rupanya. Tapi yang paling sering datang adalah monyet yang berlompatan
ke sana kemari. Liar sekali. **)
Suatu hari, entah kenapa, aku
kangen pulang. Aku berpamitan. Ibu pemilik rumah memelukku. Dengan
lembut ia berpesan, ”Kau boleh kembali kapan saja. Ini rumahmu juga. Ibu
mencintaimu...”
Mataku berkaca-kaca.
Ibuku di rumah
menyambutku dengan senyum yang teduh. Mataku menyapu seluruh rumah. Tak
ada yang berubah, tapi aku merasakan semua berubah. Tak ada barang baru,
tetapi aku melihat barang-barang lama itu berkilauan. Tanaman pohon dan
perdu juga tak berubah, tetapi halaman rumahku terasa sangat asri.
”Kenapa kau Nak?” tanya ibuku.
Ah, rupanya ia mengamatiku.
”Kau seperti tak pernah melihat rumahmu...”
Ketika
kutanya padanya apa yang ia lakukan selama aku pergi, ibu menggelengkan
kepala. Ketika kutanya lagi apakah ibu meminta orang membersihkan rumah
untuk menyambutku pulang, ia kembali menggeleng.
”Rumah ini tak pernah berubah May. Dari dulu seperti ini. Kau kebanyakan tidur, jadi tak melihat apa-apa.”
Mungkin ibuku heran karena sekarang aku tak lagi penidur. Tapi ia tak pernah bertanya. Ia hanya tersenyum....
Suatu
siang, kudengar ketukan di pintu. Di luar kulihat seraut wajah yang
sangat kukenal, tetapi tak bisa kuingat kapan kita pernah berjumpa. Ia
tersenyum hangat, dan tanpa kata-kata menggamitku ke luar. Ia mengajakku
ke satu rumah, tak jauh dari rumahku. Aku sering melewatinya, tetapi
tak pernah singgah.
Ia mengajakku masuk, dan mempersilakanku
duduk. Dengan segera aku menyukai tata letak rumah ini. Rumah itu
terang, pintu dan jendelanya besar-besar dan terbuka lebar. Plafonnya
tinggi. Kudengar sayup-sayup alunan Gending Asmarandana seperti dalam
mimpi masa kecilku. Aku segera menyukai suasana ini. Temanku tak perlu
dua kali menawariku untuk mempersilakan aku tinggal.
Suatu sore
saat minum teh bersamanya, kukatakan, ”Semua orang di sini sangat baik
padaku. Terima kasih sudah mengizinkan aku tinggal.”
Jawabnya tak terduga, ”Kau sedang menemui bagian terbaik dirimu.”
Aku tersentak. Perlahan mulai kulihat gambar bergerak dari banyak peristiwa yang telah lewat....
Sejak itu, rumahku tak lagi sepi. Teman-teman datang dan pergi, menginap lama, atau sekadar berkunjung.
Begitu pun aku.
Setelah
itu aku terbiasa pergi-pulang, dan memasuki rumah-rumah yang dibuka
untuk kukunjungi atau menginap. Begitu seringnya, sampai aku tak bisa
lagi membedakan rumahku dan yang lain. Hanya model rumah yang berbeda.
Itu saja.
Tapi jalanan pergi dan pulang tak selalu mulus. Beberapa
kali kakiku terantuk batu dan berdarah. Pernah sekali tubuhku dibanting
angin yang tiba-tiba menerjang dari depan. Tak jarang aku terkilir oleh
sebab tak jelas. Padahal kupikir aku cukup hati-hati.
Suatu hari,
ibu sepuh penghuni rumah yang jauh di ujung, bilang, jalanan akan
selalu demikian. Itu sebabnya, jarang orang lalu lalang. Tapi ia
mengingatkan, ”Kau punya dua saudara sejiwa yang jarang kausapa, empat
penjaga satu sukma-jiwa yang tak pernah kau ajak jalan bersama, dan
Mahkota Cahaya yang masih kau biarkan terbenam di dalam kotoran yang
menumpuk dari enam binatang yang kau lihat pada suatu malam.”
Aku tersentak.
Kuceritakan
pengalaman itu pada ibuku di rumah. Dia lalu membuatkan bubur merah dan
bubur putih. Keduanya ditaruh berdampingan pada satu takir ***) yang
diletakkan di atas nampan bersama gelas berisi air dengan kembang mawar
merah-putih dan sekuncup kantil. Sejak kecil aku selalu melihat ibuku
membuat sesaji seperti itu pada hari-hari tertentu, seperti hari
wetonku.
Kata ibuku, ”Tubuh yang terlihat memang satu, tetapi
sebenarnya ada dua. Dua dalam satu, satu dalam dua. Tidak satu. Tidak
dua. Seperti laut dengan gelombangnya.”
Ah ibuku selalu membuatku
bingung. Tetapi sejak itu, hari-hariku menjadi sangat berwarna. Aku
seperti anak kecil yang mendapatkan mainannya kembali. Aku asyik
membongkar, menyusun, membingkai, bermain bentuk, warna, angka, dan
meniupkan rasa.
Permainan itu membuatku membaca daun yang luruh
menyentuhku, kupu-kupu yang hinggap di kelambu, bulu-bulu halus yang
jatuh di waktu-waktu antara, bau dan aroma yang berkelebat, jaring
laba-laba yang liat, sarang lebah di sudut kusen rumah, kicau dan
lengking burung, derit serangga, kokok ayam pada waktu yang tak biasa,
lolong anjing dan raung kucing, dan banyak lagi, dan banyak lagi.
Lalu,
aku mulai bisa melihat jejak angin, hujan, awan, tanah, udara, api,
kayu dan manusia lain dalam sekepal nasi dan seteguk air. Aku belajar
melihat yang penuh dalam gelas yang kosong, yang kosong di dalam gelas
yang penuh.
Di ruang yang paling lapang di dalam rumahku, aku merasakan semua di dalam semua.
*) Dari ilustrasi Anthony de Mello dalam Awareness
**) Diinspirasi kisah Dhamma